Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Memperkuat Pemberantasan Mafia Tanah


Semarang - Presiden Jokowi pada kegiatan redistribusi tanah dan penyerahan sertifikat kepada masyarakat di Istana Negara, 22 September 2021 telah mengingatkan bahwa pemerintah berkomitmen penuh dalam memberantas mafia-mafia tanah dengan menginstruksikan jajaran Polri untuk memperjuangkan hak masyarakat dan menegakkan hukum secara tegas dalam penyelesaian konflik agraria di Tanah Air.

Kepolisian diminta jangan ragu-ragu mengusut mafia-mafia tanah yang ada dan jangan sampai ada aparat penegak hukum yang melindungi mafia tanah tersebut. Mafia tanah bisa didefinisikan sebagai bentuk pemufakatan dua orang atau lebih, baik itu yang melibatkan unsur dari pemerintah ataupun di luar pemerintah dengan tujuan untuk merampas tanah orang lain atau tanah negara yang bukan merupakan haknya.

Semangat bersama Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) sebagai salah satu instansi yang berwenang memutus praktik mafia tanah telah membentuk Satuan Tugas (Satgas) Anti-Mafia Tanah pada awal 2021. Dalam hal ini ATR/BPN secara intensif bekerjasama dengan Polri, Kejaksaan, Mahkamah Agung, dan Komisi Yudisial. Tak hanya ditingkat nasional, Satgas Anti-Mafia Tanah juga dibentuk ditingkat provinsi. Sehingga diharapkan wilayah kerja dalam pemberantasan mafia tanah bisa lebih efektif.

Inspektur Jenderal ATR/BPN melaporkan pada pertengahan Oktober 2021 lalu bahwa telah memberikan sanksi terhadap 125 pegawai ATR/BPN yang terlibat dalam praktik mafia tanah. Sebanyak 32 pegawai mendapatkan hukuman berat, 53 orang dihukum disiplin sedang, dan 40 orang dihukum disiplin ringan. Kerja pemberantasan terus dijalankan, hari-hari terakhir ini Tim Anti-Mafia Tanah Polda Banten telah menangkap oknum BPN Kabupaten Lebak yang diduga terlibat dalam praktik mafia tanah.

Hal ini membuktikan bahwa praktik mafia tanah terus berlangsung di sekitar kita. Jaksa Agung mengakui kejahatan yang dilakukan komplotan mafia tanah ini seolah tidak terlihat, tetapi kegiatan mereka terasa merugikan rakyat. Mafia tanah juga mengganjal pelaksanaan reforma agraria yang menjadi program prioritas pemerintah, karena kerap menimbulkan konflik agraria dan sengketa pertanahan.

Atas dasar itu, dalam memperkuat kerja ATR/BPN dan Polri, Kejaksaan juga telah membuka kontak aduan langsung dari masyarakat terkait mafia tanah. Jaksa Agung memerintahkan aparat kejaksaan di seluruh Indonesia untuk “menghabisi” mafia tanah. Kolaborasi antar kementerian/lembaga yang terjadi menunjukkan semangat bersama dalam membenahi permasalahan tanah secara nasional, terkhusus sebagai upaya merombak struktur ketimpangan penguasaan dan kepemilikan tanah.

Ketimpangan dan Modus Kejahatan

Berdasarkan data BPS, kepemilikan tanah masih belum adil dan menjurus pada ketimpangan dengan angka sebesar 0,68 persen. Artinya, satu persen rakyat Indonesia menguasai enam puluh delapan persen tanah di Indonesia. Angka ini harus segera mendapatkan upaya korektif. Di tengah ATR/BPN menargetkan semua tanah di Indonesia sudah tercatat dan terdaftar 100 persen pada tahun 2025 dan masih banyak konflik agraria yang belum terselesaikan.

Menjadi tantangan yang tidak mudah, tapi harus terus diatasi secara bersama-sama oleh berbagai pihak. Mengingat modus mafia tanah yang ditemui dari beberapa kasus sangat berdampak pada tingkat ketimpangan dan eskalasi konflik agraria. Mafia tanah secara praktik misalnya melakukan pendudukan tanah secara ilegal atau tanpa hak. Mereka melakukan rekayasa perkara untuk mendapatkan legalitas, seolah-olah terjadi sengketa atau konflik pertanahan yang diselesaikan dengan jalur pengadilan. Modus lain juga dilakukan berupa melaporkan kehilangan sertipikat ke kepolisian, sehingga bisa dikeluarkan sertipikat asli yang sesungguhnya palsu.

Kemudian ada kasus tanah yang diklaim oleh mafia tanah seolah-olah telah melalui proses jual-beli. Modus ini biasanya diikuti dengan pemalsuan dokumen alas hak dan pemalsuan kuasa pengurusan hak atas tanah. Dalam kasus penggunaan tanah negara yang hanya beralaskan izin lokasi, korporasi perkebunan bisa menguasai selama puluhan tahun. Padahal mereka tak memiliki sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) atau Hak Guna Bangunan (HGB).

Di lapangan juga kerap ditemui kerja sama mafia tanah dengan oknum pemerintah desa atau kelurahan untuk mendapatkan girik, surat keterangan tanah dan surat keterangan tidak sedang dalam sengketa/konflik, sebagai syarat memperoleh sertipikat hak dari ATR/BPN. Mafia tanah juga kerap menggunakan bukti kepemilikan palsu masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda sebagai argumen penguasaan terhadap tanah. Modus ini dijalankan dengan tindak kolusi, korupsi dan nepotisme untuk menghilangkan warkah tanah, yang merupakan kumpulan dokumen yang memuat data fisik dan data yuridis tanah.

Masih Terjadi Kontradiksi

Modus-modus tersebut harus berani dibongkar oleh Satgas Anti-Mafia Tanah. Momentum pemberantasan mafia tanah harus terus dijaga dengan mendorong keterlibatan Pemerintah Daerah. Dukungan aktif juga diharapkan datang dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Ombudsman RI. Kedua lembaga ini dinilai akan memperkuat ruang penindakan kepada para mafia tanah dari segi korupsi, kolusi, nepotisme, dan maladmistrasi. Terlebih perubahan peraturan yang begitu cepat sedang terjadi setelah UU Cipta Kerja disahkan menyebabkan berbagai kontradiksi, dan justru berpeluang melindungi praktik mafia tanah.

Sebagaimana pertentangan aturan tentang perpanjangan atau pembaruan HGU. Dalam Pasal 6 Peraturan Presiden RI No. 18 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria, tanah HGU dan HGB yang telah habis masa berlakunya serta tidak dimohon perpanjangan dan/atau tidak dimohon pembaruan haknya dalam jangka waktu satu tahun setelah haknya berakhir dijadikan sebagai salah satu objek redistribusi tanah.

Tetapi, pada Pasal 79 ayat (1) Peraturan Menteri ATR/BPN No. 18 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penetapan Hak Pengelolaan dan Hak Atas Tanah, diatur bahwa tanah HGU kembali menjadi tanah negara apabila setelah waktu pemberian/perpanjangan berakhir dan dalam jangka paling lama dua tahun tidak dimohonkan. Artinya di sini telah terjadi dualisme pengaturan terhadap mekanisme pengembalian tanah negara yang bersumber dari tanah HGU yang sudah berakhir.

Belum lagi Pasal 79 ayat (2) yang mengatur tentang wewenang Menteri ATR/BPN yang masih memberikan “prioritas” kepada bekas pemegang hak untuk mengajukan permohonan pemberian hak kembali. Menteri juga bisa memberikan tanah negara tersebut kepada Badan Bank Tanah dengan Hak Pengelolaan. Peraturan yang tidak konsisten semacam ini dapat membuka kembali keran mafia tanah beraksi ketika kita gencar melakukan kerja-kerja pemberantasan.

Mafia tanah bisa saja memanfaatkan situasi ini, semisal perusahaan yang hak-nya sudah berakhir tetapi setelah satu tahun tetap menguasai tanah, perusahaan perkebunan yang secara faktual melakukan perluasan melebihi besaran luas dalam sertifikat hak, dan perusahaan perkebunan yang tumpang tindih dengan kawasan hutan. Mereka akan berdalih dalam proses pengurusan hak dan sedang mengurus perpanjangan hak.

Kontradiksi semacam ini tentu harus menjadi refleksi bersama dalam kerja memperkuat pemberantasan mafia tanah. Pada satu sisi penindakan mesti terus digiatkan, dan sisi yang lain sinkronisasi peraturan perundang-undangan yang membatasi praktik mafia tanah harus dilakukan.